BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Strategi pemerolehan bahasa anak dalam hal ini
merupakan faktor yangberbeda dengan orang dewasa, anak kecil
cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahasa. Dalam lingkungan
masyarakat bahasa apapun mereka hidup, anak-anak hanya memerlukan waktu relatif
sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam
lingkungan bahasa ibunya (B1).
Sebenarnya,
strategi apa yang ditempuh anak-anak dalam belajar bahasa sehingga dengan cepat
mereka dapat menguasai bahasa itu. Padahal mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara khusus. Ternyata,
untuk memperoleh kemampuan bahasa lisannya, mereka melakukannya dengan berbagai
cara. Di dalam strategi pemerolehan bahasa
anak ada dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh
kemampuan berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimilikinya, serta
hubungan sosial yang diperolehnya. Selain itu terdapat faktor-faktor penunjang
yang merupakan penjabaran dari kedua hal hal diatas yang juga dapat
mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
saja faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak?
2. Apa
saja strategi pemerolehan bahasa anak?
3. Apa
yang dimaksud pemerolehan bahasa anak?
4. Apa
sajaragam pemerolehan bahasa anak?
5.
Apaalasan anak belajar
berbahasa?
C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1. Untuk
memahami faktor yang mempengaruhi perolehan bahasa anak.
2. Untuk
memahami macam-macam strategi pemerolehan bahasa anak.
3. Untuk mengetahui pengertian pemerolehan bahasa anak.
4. Untuk
memahami macam-macam ragam pemerolehan bahasa anak.
5. Untuk
mengetahui berbagai alasan anak belajar bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
STRATEGI
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemerolehan bahasa anak
Ada
dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan
berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimilikinya, serta hubungan
sosial yang diperolehnya. Selain itu terdapat faktor-faktor penunjang yang
merupakan penjabaran dari kedua hal hal diatas yang juga dapat mempengaruhi
tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
1.
Faktor biologis
Setiap
anak yang lahir telah dilengkapi kemampuan kodrati atau alami yang
memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara otomatis.
chomsky (1975 dalam Santrock, 1994)
menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah piranti pemerolehan bahasa. Dengan
piranti itu, anak dapat menyerap sistem suatu bahasa yang terdiri atas sub
sistem fonologis, tata bahasa, kosa kata dan pragatik, serta menggunakannya
dalam berbahasa.
Perangkat
biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada tiga,
yaitu otak (sistem saraf pusat), alat
dengar dan alat ucap.
Dalam
proses berbahasa, seseorang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di
otaknya. Pada belahan otak sebelah kiri terdapat wilayah Broca yang mempengaruhi dan mengontrol produksi atau
penghasilan bahasa seperti berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah
kanan terdapat wilayah Wernicke yang
mempengaruhi dan mengendalikan pemahaman bahasa seperti menyimak dan membaca.
Di antara kedua bagian otak itu terdapat wilayah
motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan unsur fisik
penghasil ujaran.
Berdasarkan
tugas ketiga otak, ketiga bagian otak itu, alur penerimaan dan penghasilan
bahasa dapat disederhanakan sebagai berikut. Bahasa didengarkan dan dipahami
melalui daerah Wernieke. Isyarat
bahasa itu kemudian dialihkan ke daerah Broca, untuk mempersiapkan penghasilan
bahasan, selanjutnya, isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor
seperti alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara fisik.
2. Faktor
Lingkungan Sosial
Untuk
memperoleh berbahasa seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan
berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk mendengarkan sesuatu atau
menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi tidak akan memiliki kemampuan
berbahasa. Mengapa demikian, bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara
genetis atau keturunan tetapi didapat dalam lingkungan yang menggunakan bahasa.
Atas dasar itu, maka anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima
tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan contoh atau
model berbahasa, respon atau tanggapan, serta teman untuk berlatih dan beruji
coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Dengan
demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh seperti keluarga dan
masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pemerolehan bahasa
anak.
Kaitan
antara lingkungan sosial dengan perangkat biologis yang telah dimiliki anak
sejak lahir sangatlah erat, tak terpisahkan. Kehilangan salah satu dari
keduanya akan mengakibatkan anak tidak mampu berbahasa, kalau disederhanakan
piranti biologis adalah wadah atau alat, maka lingkungan sosial berperan
memberi isi atau muatan.
Banyak
bukti menunjukkan bahwa otak, alat dengar, dan alat ucap, memiliki peran dasar
yang sangat penting. Gangguan pada salah satu dari ketiganya akan sangat
menghambat pemerolehan bahasa anak. Lenneberg (1975 dalam Cahyono, 1995)
membuktikannya melalui penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu,
lemah mental, dan tuna wicara.
Dari
kajiannya mengenai anak-anak tunarungu, Lenneberg menemukan fakta berikut. Tiga
bulan setelah dilahirkan, anak-anak tunarungu dapat menghasilkan bunyi-bunyi
yang sama seperti anak normal. Dari bulan keempat hingga bulan kedua belas,
hanya sebagian bunyi yang mereka hasilkan sama dengan anak normal.
Hasil
pembelajaran terhadap anak-anak tunarungu menunjukkan bahwa peluang mereka
untuk belajar menggunakan suara dan alat ucapnya sangat kecil. Ketika mreka
berusaha berbicara, kualitas suara mereka berubah dengan tekanan yang kurang
baik serta pula intonasi yang tak terkendali.
Anak-anak
lemah mental cenderung mengartikulasikan tuturannya secara lemah dengan
gramatika yang banyak mengandung kesalahan. Kesalahan itu kadang-kadang
menunjukkan bahwa mereka kurang memahami apa yang disampaikannya dan topik
pembicaraannya kabur, kurang terarah.
Berdasarkan
kajian Lennerberg, anak-anak tunarungu tidak dapat berceloteh dan menirukan
kata. Mereka tidak dapat memiliki kemampuan mengartikulasikan atau membunyikan
tuturannya secara normal. Hal ini disebabkan adanya gangguan alat ucap mereka.
Meskipun demikian, mereka dapat memahami tuturan dengan relatif baik.
Konsep
lingkungan sosial di sini mengacu kepada berbagai perilaku berbahasa setiap
individu seperti orang tua, saudara, anggota masyarakat sekitar dalam mendukung
perkembangan bahasa anak. Dukungan dan keterlibatan sosial ini diperlukan anak.
Inilah yang disebut Bruner (1983 dalam Santrock, 1994) sebagai Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa (
Languange Acquisition Support
System).
Kita
semua tahu bahwa pemakai bahasa yang baik itu harus memiliki dua hal. Pertama,
dia harus menguasai sistem atau aturan bahasa yang digunakannya. Kedua, dia
juga harus memahami dan menguasai aturan sosial penggunaan bahasa itu. Kita
akan menyebut kurang ajar bila seorang anak berbahasa dengan gurunya
menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawan sebayanya. Bila piranti
biologis memungkinkan anak memahami sistem bahasanya, maka lingkungan sosial
memberikan kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan bahasa yang dimilikinya
sehingga bahasanya berfungsi secara wajar.
Selanjutnya,
bagaimanakah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam
belajar bahasa? Diantaranya adalah berikut ini,
a. Bahasa
semang (motheresse), yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang
dewasa lainnya ketika berbicara dengan bayi anak kecil.
b. Parafrase,
yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anakdengan cara yang berbeda.
Misalnya, kalimat pernyataan menjadi kalimat pertanyaan.
c. Menegaskan
kembali (echoing), yaitu mengulang apa
yang dikatakan anak. Terutama bila tuturannya tidak lengkap atau tidak sesuai
dengan maksud.
d. Memperluas
atau ekspanding yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam
bentuk kebahasan yang lebih kompleks.
e. Menamai
atau labelling yaitu mengidentifikasi nama-nama benda, bisa dalam bentuk benda
yang sebenarnya atau dalam bentuk tiruan, gambar permainan kata dan sebagainya.
f. Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi atau memberi respon positif
atas perilaku bahasa anak. Misalnya, dengan memuji, memberi acungan
jempol, tepuk tangan, dan sebagainya.
g. Pemodelan (modeling) , yaitu contoh berbahasa
yang diakukan orang tua atau orang dewasa ( Santrock, 1994; Benson, 1988).
Saudara, semakin kuat rangsangan dan
dukungan sosial terhadap bahasa anak, akan semakin kaya pula masukan dan
kemampuan berbahasanya. Sebaliknya, bila dukungan sosial itu kurang atau
negatif, masukan bahasa anak pun akan sedikit. Dengan demikian, tingkat masukan
bahasa yang diperoleh anak akan mempengaruhi tingkat perkembangan bahasanya.
Begitu pentingnya peranan unsur atau
lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang
anak normal diasingkan dan tumbuh dilingkungan hutan, diantara hewan-hewan
hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan
pendapat itu?
Selain faktor biologis dan sosial, ada
unsur lain yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak-anak. Kedua faktor itu
adalah intelegensi dan motivasi.
3. Faktor
Intelegensi
Intelegensi adalah daya atau kemampuan
anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980) mendefinisikan sebagai
kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelegensi ini bersifat abstrak
dan tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentang tingkat
intelegensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui perilakunya.
Lalu, bagaiman pengaruh faktor
intelegensi itu terhadap pemerolehan bahasa anak?
Sebenarnya, penulis tidak bermaksud
untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses
dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan. Kecuali, tentu saja anak-ana yang
sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor
biologis. Sesungguhnya, semua anak baik
yang bernalar tinggi, sedang, ataupun rendah, dapat belajar dan
memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaanya terletak pada jangka waktu dan
tingkat kreativitas. Anak yang berintelegensi tinggi, tingkat pencapaian
bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak, dan lebih bervariasi khasanah
bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang ataupun rendah.
4. Faktor
Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan
motivasi dapat menjelaskan “ Mengapa seorang anak yang normal sukses
mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada dua, yaitu dari dalam dan
luar diri anak.
Dalam belajar bahasa, seorang anak tidak
terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang
bersifat praktis seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (
Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson, 1995). Inilah yang disebut motifasi
intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan
komunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditujukan agar dia dapat
dipahami dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, si anak
merasakan bahwa komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan
gembira sehingga dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra
bicaranya. Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasa bahasanya lebih
baik lagi. Nah, karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya,
maka motivasinya disebut motivasi ekstrinsik.
B. Strategi Pemerolehan Bahasa Anak
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil
cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahasa. Dalam lingkungan
masyarakat bahasa apapun mereka hidup, anak-anak hanya memerlukan waktu relatif
sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam
lingkungan bahasa ibunya (B1).
Sebenarnya, strategi apa yang ditempuh
anak-anak dalam belajar bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai
bahasa itu. Padahal mereka tidak sengaja
belajar atau diajari secara khusus. Ternyata, untuk memperoleh kemampuan
bahasa lisannya, mereka melakukannya dengan berbagai cara seperti di bawah ini!
a. Mengingat
Mengingat
memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau belajar apapun. Setiap
pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Ketika dia
menyentuh, menyerap, mencium, melihat, dan mendengar sesuatu, memori anak
menyimpannya. Pancaindera itu sanagat penting bagi anak dalam membangun
pengetahuan tentang dunianya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak
mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang
menyertai dan merujuk pada sesuatu yang dia alami. Ingatan itu akan semakin
kuat, terutama bila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang.
Dengan cara ini, anak akan mengingat kata-kata tentang sesuatu sekaligus
mengingat pula cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat
anak ketika diucapkan tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau
hanya suku kata awal atau akhirnya saja. Hal ini terjadi karena pertumbuhan
otak dan alat ucap anak masih sedang berkembang. Dia menyimpan kata yang dia
dengar, yang dia perlukan dalam memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya.
Namun, tingkat perkembangannyalah yang belum memungkinkan dia melafalkan
tuturan sesempurna orang dewasa. Karena itu, dalam berbahasa biasanya anak
dibantu oleh ekspresi, gerak tangan, atau menunjuk benda-benda tertentu. Inilah
versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam
berkomunikasi dengan anak, biasanya orang tua atau orang dewasa menyederhanakan
bahasanya. Penyederhanaan itu diwujudkan dalam tuturan yang pelan, ekspresif,
dan modifikasi kata yang mudah diingat dan diucapkan anak, seperti kata pus
untuk kucing, mimi untuk minu, mamam atau ma’em untuk makan, bobo untuk tidur,
dan pipis untuk kencing.
b. Meniru
Strategi
penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah peniruan.
Perwujudan strategi ini sebenarnya tak dapat dipisahkan dari strategi
mengingat. Lalu, apakah peniruan yang dilakukan anak dalam belajar bahasa itu
seperti beo? Apakah dia meniru
bulat-bulat dan hanya sekedar mengulang kembali apa yang didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu
merupakan pengulangan secara persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo.
Cobalah anda amati atau minta seseorang anak mengulang suatu tuturan yang
dicontohkan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami
perubahan. Perubahan itu dapat berupa pengurangan, penambahan dan penggantian
kata atau pengurutan susunan kata. Mengapa begitu?
Sedikitnya ada dua penyebab. Penyebab
pertama berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta lat
ucap. Dengan demikian, anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah
dikuasainya . penyebab kedua, berkaitan dengan kreativitas berbahasa anak. Di
satu sisi, secara bertahap, dia dapat memahami dan menggunakan tuturan yang
lebih kompleks. Di sisi lain secara bersamaan, anak membangu suatu sistem
bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak
terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan atau eksperimen
dalam berbahasa. Percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya
berpindah pada tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya sulit
bagi anak untuk meniru bulat-bulat tuturan orang dewasa. Mengapa? Sebab, bila
anak berkosentrasi pada tuturan tersebut, maka perkembangan kemampuan
komunikasinya akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat terbatas (
MaCaulay, 1980 ).
Karena itu, tak perlu heran bila suatu
ketika Anda mendengar anak mampu memproduksi tuturan yang belum pernah Anda
dengar sebelumnya. Hal ini terjadi, karena dalam belajar bahasa, seorang anak
tidak sekedar menangkap kata-kata. Dia juga terutama karena mencerna
prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan demikian, sifat peniruan
anak cenderung bersifat dinamis dan kreatif.
Saudara, karena strategi peniruan itu
pula, maka model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat
mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Bila modelnya baik, maka anak pun
akan mempelajari versi bahasa yang baik. Sebaliknya, bila modelnya kurang baik,
maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajarinya.
c. Mengalami
Langsung
Strategi
penting lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertama yang dipelajarinya
adalah berlatih atau praktik berbahasa secara langsung dalam konteks bahasa
yang sesungguhnya. Anak menggunakan bahasa yang dipelajarinya baik sewaktu
berkomunikasi dengan orang lain atau bebicara sendirian. Anak mengalami
langsung kegiatan berbahasa seperti menyimak dan berbicara. Dengan demikian,
berdasarkan model atau respon partner komunikasinya, dia akan dapat merasakan
kewajaran dan ketepatan berbahasanya.
Praktik
berbahasa itu dilakukan anak bukan karena dorongan orang lain, tetapi karena ia
memerlukannya. Kegiatan ini berlangsung dalam situasi informal, tanpa disadari,
dan tanpa beban. Dia pun melakukan eksperimen atau uji coba dalam berbahasa
tanpa takut salah. Upaya ini merupakan sarana untuk mempermantap sistem bahasa
yang di pelajarinya. Secara perlahan dan bertahap, dia mengubah, memperbaiki,
dan menyimpulkan aturan bahasa itu
sampai tuturannya dirasa benar dan menyerupai ujaran orang dewasa. Karena itu
pula, kesalahan berbahasa bagi anak merupakan suatu yang wajar. Kesalahan itu
menunjukkan adanya proses pemantapan aturan bahasa yang dipelajarinya.
Dengan
demikian berbahasa secara langsung dalam konteks yang nyata sangat membantu
anak menguasai bahasa yang di pelajarinya dengan cepat. Keefektifan cara ini tidak
hanya berlaku dalam mempelajari bahasa pertama saja, tetapi bahasa kedua, ketiga,
dan sebagainya. Contohnya, kita belajar bahasa Inggris paling tidak enam tahun:
tiga tahun di SLTP dan tiga tahun di SMU. Lalu apa hasilnya? berbicara bingung,
menyimakpun bingung. Tetapi kalau anda belajar langsung dan tinggal di negara
yang berbahasa inggris, dalam waktu yang relatif lebih singkat kita akan dapat
menggunakan bahasa itu dengan baik.
Secara
itu praktik berbahasa yang di lakukan anak menggiringnya melakukan
generalisasi. Apakah wujud hasil generalisasinya benar atau salah.
Generalisasi
adalah menyimpulkan atas gejala atau contoh – contoh berbahasa yang memiliki
kesamaan sifat. Karena itu, tidak perlu heran bila seorang anak mampu yang
menghasilkan tuturan yang benar sekalipun dia belum pernah mendengar sebelumnya
dari orang lain.
Generalisasi
keliru adalah pennyimpulan yang salah karena menggunakan suatu gejala bahasa
dalam konteks yang tidak berhubungan atau tidak cocok. Contoh, Fajar tiba –
tiba berkata ”Mamah,…pipis”, sambil tangannya menunjuk pada bagian bawah bus
yang meneteskan air yang ada di depannya. Dalam benaknya mungkin segala sesuatu
yang mengeluarkan air dari bagian bawahnya disebut “pipis”(kencing).
d. Bermain
Kegiatan
bermain ini sangat penting dalam pengembangan kemampuan berbahasa anak. Sering
kali mereka berlaku sebagai anak yang lebih tua atau orang dewasa.
Perhatikanlah misalnya, bila beberapa anak perempuan bermain bersama. Ada yang
berlaku sebgai anak, bapak, ibu, atau kakak dalam bermain rumah-rumahan. Ada
yang berperan sebagai penjual dan pembeli dalam permainan dagang-dagangan.
Bahkan ada yang berperan sebagai guru dan murid dalam permainan
sekolah-sekolahan. Dalam permainan itu, mereka seolah-olah berdrama. Tanpa
disadari, mereka berlatih berbicara dan menyimak.
e. Penyederhanaan
Perhatikan
tuturan berikut ini!
Tuturan anak-anak Tuturan orang
dewasa
1.
Ma,acih Terima
kasih
2.
Mamah,gogog Mamah,itu anjing
3.
Aqi cucu,mah! Haqi mau minum susu,Mah!
Tiga contoh di atas adalah tipe tuturan
anak (1-3tahun) yang sedang belajar bahasa ibunya. Nah,coba amati dan coba
jelaskan kesamaan dari tiga contoh diatas?
Anda pasti mengatakan bahwa ada beberapa
fonem dan bahkan kata yang hilang pada tuturan anak. Mengapa bisa terjadi? karena
anak dalam proses perkembangan, maka tuturan anak jauh lebih sederhana baik
dalam bunyi atau tata bahasa daripada tuturan anak dewasa. Seperti Anda
ketahui, kemampuan berbahasa anak itu bertahap. Mulai dari tuturan satu kata, dua
kata, dan seterusnya. Kata – kata yang digunakan memiliki cakupan makna yang
luas, seperti satu kata mewakili satu kalimat.oleh karena itu pula, sekalipun
ada bunyi atau kata yang hilang, tidak biasanya dapat memahami apa yang
dikatakan anak.
Ciri berbahasa anak – anak seperti itu
disebut penyederhanaan atau pengurangan (reduksi). Ketika berbicara, anak – anak
menyederhanakan model tuturan orang dewasa. Bagi anak itu sendiri, strategi ini
tentu tidak disadarinya. Karena pembentukan kaidah bahasa itu bertahap melalui
uji coba dan perbaikan, maka perkembangan tuturan anakpun tidak serumit orang
dewasa.
C.
Pemerolehan Bahasa Anak
1) Hakekat Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk
menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain.
Jika dikaitkan dengan hal itu, maka yang
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa,
baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui
kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut,
Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan.
Dengan demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Penguasaan
bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara
eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan
proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara
sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa. Adapun karakteristik
pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998) adalah:
a. berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa
beban, dan di luar sekolah;
b. pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembaga lembaga
pendidikan seperti sekolah atau kursus;
c. dilakukan tanpa sadar atau secara spontan;
d. dialami langsung oleh anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang
bermakna bagi anak.
2) Teori Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses-proses yang berlaku
di dalam otak seorang anak ketika memperoleh bahasa ibunya
Ada dua pandangan mengenai pemerolehan bahasa (McGraw dalam Krisanjaya,
1998). Pertama pemerolehan bahasa mempunyai permulaan mendadak atau tiba-tiba.
Kebebasan berbahasa dimulai sekitar satu tahun ketika anak-anak menggunakan
kata-kata lepas atau terpisah dari simbol pada kebahasaan untuk mencapai aneka
tujuan sosial mereka. Pandangan kedua menyatakan bahwa pemerolehan bahasa
memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi
motorik, sosial dan kemampuan kognitif pralinguistik. Khusus mengenai hubungan
perkembangan kognitif dengan perkembangan bahasa anak dapat disimpulkan 2 hal.
Pertama, jika seorang anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada
tata bahasa yang teratur rapi tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa
anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, penutur
bahasa harus memperoleh kategorikategori kognitif yang mendasari berbagai makna
ekspresif bahasa alamiah, seperti: waktu, ruang, kausalitas dan sebagainya.
Lenneberg salah seorang ahli teori belajar bahasa yang sangat terkenal
(1969) mengatakan bahwa perkembangan bahasa bergantung pada pematangan otak
secara biologis. Pematangan otak memungkinkan ide berkembang dan selanjutnya
memungkinkan pemerolehan bahasa anak berkembang.
3) Ragam Pemerolehan Bahasa Anak
Ditinjau dari segi urutan, dikenal ragam:
a.
pemerolehan bahasa pertama
b. pemerolehan bahasa kedua
1. Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak
dan karenanya erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Apabila
seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal,
belum berarti ia telah menguasai bahasa pertama
Proses belajar bahasa pertama memiliki ciri-ciri:
belajar
tidak disengaja
berlangsung
sejak lahir
lingkungan
keluarga sangat menentukan
motivasi ada
karena kebutuhan
banyak waktu
untuk mencoba bahasa
banyak
kesempatan untuk berkomunikasi.
Anak- anak dalam proses pemerolehan
bahasa pada umumnya menggunakan 4 strategi, di antaranya:
1) meniru/imitasi.
Berbagai penelitian menemukan berbagai jenis peniruan
atau imitasi, seperti: imitasi spontan, imitasi perolehan, imitasi seger, imitasi lambat, imitasi perluasan
2) strategi produktivitas
Produktivitas berarti keefektifan
dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa melalui sarana komunikasi linguistik
dan nonlinguistik (mimik, gerak, isyarat, suara dsb).
3) Strategi umpan balik
yaitu umpan balik antara strategi produksi
ujaran (ucapan) dengan responsi.
4) Prinsip operasi.
Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman,
”Gunakan beberapa prinsip operasi umum untuk memikirkan serta menggunakan
bahasa”( hindarkan kekecualian, prinsip khusus: seperti kata: berajar menjadi
belajar).
2. Pemerolehan Bahasa Kedua
Pemerolehan bahasa kedua dimaknai saat seseorang memperoleh sebuah bahasa
lain setelah terlebih dahulu ia menguasai sampai batas tertentu bahasa
pertamanya (bahasa ibu). Ada juga yang menyamakan istilah bahasa kedua sebagai
bahasa asing.
Pada proses belajar bahasa kedua terdapat ciri-ciri:
1) belajar bahasa
disengaja, misalnya karena menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah
2) berlangsung setelah
pelajar berada di sekolah
3) lingkungan sekolah
sangat menentukan
4) motivasi pelajar untuk
mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa pertama. Motivasi itu misalnya
ingin memperoleh nilai baik pada waktu ulangan atau ujian.
5) waktu belajar terbatas
6) pelajar tidak
mempunyai banyak waktu untuk mempraktikan bahasa yang dipelajari.
7) bahasa pertama
mempengaruhi proses belajar bahasa kedua
8) umur kritis
mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat sehingga proses belajar
bahasa kedua berlangsung lama.
9) disediakan
alat bantu belajar
10) ada
orang yang mengorganisasikannya, yakni guru dan sekolah.
Dalam kaitannya dengan proses belajar bahasa kedua
perlu diperhatikanbeberapa strategi yang dapat diterapkan. Stern (1983)
menjelaskan ada sepuluh strategidalam proses belajar bahasa, yaitu:
1) strategi perencanaan dan
belajar positif
2) strategi aktif, pendekatan
aktif dalam tugas belajar, libatkan siswa Anda secara aktif dalam belajar
bahasa bahkan melalui pelajaran yang lain.
3) strategi empatik, ciptakan
empatik pada waktu belajar bahasa.
4) strategi formal; perlu
ditanamkan kepada siswa bahwa proses belajar bahasa ini formal/terstruktur
sebab pendidikan yang sedang ditanamkan adalah pendidikan formal bukan alamiah.
5)
strategi eksperimental; tidak ada salahnya jika Anda mencoba-coba sesuatu untuk
peningkatan belajar siswa Anda
6) strategi
semantik, yakni menambah kosakata siswa dengan berbagai cara, misalnya
permainan (contoh: teka-teki); permainan dapat meningkatkan keberhasilan
belajar bahasa.
7) strategi
praktis; pancinglah keinginan siswa untuk mempraktikan apa yang telah
didapatkan dalam belajar bahasa, Anda sendiri harus dapat menciptakan situasi
yang kondusif di kelas.
8) strategi komunikasi; tidak
hanya di kelas, motivasi siswa untuk menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata
meskipun tanpa dipantau, berikan pertanyaanpertanyaan atau PR yang memancing
mereka bertanya kepada orang lain sehingga strategi ini terpakai.
9) strategi monitor; siswa
dapat saja memonitor sendiri dan mengkritik penggunaan bahasa yang dipakainya,
ini demi kemajuan mereka.
10) strategi internalisasi;
perlu pengembangan/pembelajaran bahasa kedua yang telah dipelajari secara
terus-menerus/berkesinambungan.
4) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa
Anak
Ada dua persyaratan dasar yang memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan
berbahasa, yaitu potensi faktor biologis yang dimiliki sang anak, serta
dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu, ada beberapa faktor penunjang
yang merupakan penjabaran dari kedua hal atas yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan
bahasa yang diperoleh anak. Faktor- faktor yang dimaksud adalah seperti
berikut:
1)
Faktor biologis
2)
Faktor lingkungan sosial
3)
Faktor intelegensi
4)
Faktor motivasi
Noam choamsky, tokoh behavioris, berpendapat bahwa
semua manusia mempunyai kemampuan bawaan untuk berbahasa. Dari kegiatan
berinteraksi dengan lingkungan, sesorang akan mampu belajar bahasa atau
membentuk kemampuan berbahasa. Perangkat biologis yang menentukan anak anak
dapat memperoleh kemampuan bahasa ada tiga, yaitu otak, alat dengar, dan alat
ucap. Dalam proses berbicara, sistem syaraf yang ada di otaklah sebagai
pengendali. Semua isyarat tanggapan bahasa yang sudah di proses diotak
selanjutnya di kirimkan ke daerah motor seperti alat ucap untuk menghasilkan bahasa
secara fisik.
5) Alasan Anak Belajar Berbahasa
Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, teapi didapat dalam
lingkungan yang menggunakan bahasa. Sehubungan dengan hal itu, maka anak
memerlukan orang lain, anak mmerlukan contoh atau model berbahasa, respon dan
tanggapan, serta teman untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa
dalam konteks yang sesungguhnya. Dengan demikian,lingkungan sosial merupakan
salah satu faktor prnting yang menentukan pemerolehan bahasa anak. Selain
lingkungan sosial, intelegensi pun berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa
anak. Anak yang berintelegensi tinggi tingkat pencapaian bahasanya senderung
lebih cepat, lebih banyak, dan lebih variatif, khasanah bahasanya daripada
anak- anak yang berintelegensi rendah ( tarigan dkk.,1998).
Pada ilustrasi sebelumnya sudah diuraiakan bahwa semakin besar perhatian
sang ibu curahkan kepada si bayi, maka semskin berani pula sang bayi melahirkan
ungkapan- ungkapan sebagai respon atas stimulus yang diberikan oleh si ibu
kepadanya. Kejadian semacam itu bagi si bayi dirasakan sebagai sesuatu yang
menyenagkan atau positif reinforsmen. Setiap dia menyuarakan “ma-ma”, dia akan
mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, maka dia akan mengulanginya lagi. Kondisi
belajar bahasa semacam itu akan terus mempengaruhi seorang anak hingga ia
menjadi tumbuh dewasa. Dorongan yang positif tadi terus mempengaruhinya
sehingga timbul keinginan seoranga anak untuk meniru orang dewasa berbahasa.
Dengan demikian, sudah jelas bahwa motivasi atau dorongan akan memacu anak
untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi.
Selain pendapat diatas, ellis dkk.(1989) mengemukakan bahwa anak belajar
berbicara sesuai dengan kebutuhannya. Sekiranya ia dapat memperoleh apa yang
diinginkannya tanpa bersusah payah untuk memintanya, maka ia tidak merasa perlu
untuk berusaha belajar berbahasa. Jadi pada mulanya motif nak belajar bahasa
ialah agar dapat memenuhi kebutuhannya, keinginanya, dan menguasai
lingkungannya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dengan demikian,
kebutuhan utama anak- anak sehingga belajar berbahasa adalah:
1) Keinginan untuk
memperoleh informasi tentang lingkungannya, kemudian mengenai dirinys sendiri dan kawan- kawannya
2) Beri perintah dan menyatakan
kemauan
3) Pergaulan sosial dengan
orang lain
4) Menyatakan pendapat dan ide-
idenya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk
menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain.
Jika dikaitkan denga hal itu, maka yang
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa,
baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui
kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut,
Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan.
Dengan demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Penguasaan
bahasa tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara
eksplisit tentang sistem kaidah yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan
proses pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara
sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
B. KRITIK
DAN SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dalam rangka pengetahuan untuk strategi pemerolehan bahasa anak .
Kurangnya sumber materi dalam penyusunan makalah ini semoga tidak mengurangi
manfaat yang terkandung.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Djago dkk. 1999. Pendidikan
Bahasa Dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Universitas Terbuka
Zuchdi, Darmiyanti
dan Budiasih. 2001. Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Yogyakarta : PAS Yogyakarta
Faisal, M. 2009. KajianBahasa
Indonesia SD. Jakarta :Depdiknas
disusun oleh:
Siti Naila Syaadah (12120366)
Mahdhalena Dwi A (12120369)
Febriani Ekawati (12120375)
Reni Nur Vandila (12120391)
Lingga Pramono S. (12120392)
Nurul Mufidatun N. (12120394)
AryZuqnil Fauza (12120405)